Di Tengah Gerimis Sore

7:11 PM


Seharian berlelahan di sekolah, namun pada akhirnya aku terjebak di teras masjid. Menanti gerimis reda, menanti penjemput datang. Sendirian. Aku cuma remaja biasa, yang dalam kejenuhan hanya bisa asal membuka aplikasi, berharap ada pesan atau pemberitahuan baru. Ini menyebalkan.

Setiap suara, setiap kilatan cahaya, bahkan setiap gerakan tentu terdengar di suasana ini. Jam segini di malam minggu, cuma ada sedikit anak yang masih mau berlalu lalang di sekolah. Termasuk aku, mungkin. Meskipun aku yakin kalau setiap suasana memiliki rasa, tapi tetap saja. Ini hampa.

Namun dalam satu detik kemudian, semua berubah. Ketika terdengar suara mesin motor dari arah gerbang yang membuatku otomatis menengok. 

Tidak, ini kesalahan. Seharusnya aku tak menengok. Aku terlambat menyadarinya. Suara mesin itu, helm itu. Semua familiar. Jikalau aku tak menengok, memori itu tak akan berputar lagi. Tak akan ada kilas balik tentangnya. Namun semua terlambat, rindu itu sudah mulai menyelimutiku.

Motornya semakin mendekat. Hanya aku yang ada di teras masjid. Tatapan kami beradu. Canggung, aku melempar senyum kecil. Tak kusangka, ia membalas dengan senyum yang tak kalah canggungnya. Ah, aku rindu senyumnya.

Momen itu berlangsung terlalu cepat. Dalam hati, aku berdoa sebanyak mungkin agar ia kembali melewatiku. Aku cuma bisa mencuri-curi pandang pada ia yang tengah memarkir motor sambil berpikir jalur mana yang akan ia ambil menuju tujuannya. Melewati si masa lalu atau tidak?

Pada akhirnya, Tuhan mendengar doaku. Ia lewat kembali di hadapanku, kini berjalan kaki. Aku tak tahu harus apa. Aku ini anak yang biasa ceria pada anak-anak lain, tapi tak bisa menutupi kecanggungan di depan orang ini. Pada akhirnya, aku berusaha mengumpulkan keberanianku. Sebelum ia pergi terlampau jauh, aku memanggil namanya. Nama yang kurindu, namun sudah kulupakan cara mengejanya.

Tak disangka, ia menengok. Matanya bertemu mata si masa lalu. Ia mengangguk kecil. Wajahnya menyiratkan rasa asing. 

Aku ... terlalu rindu.
"Cie yang sepuluh besar!" Aku cuma bisa berseru asal tanpa sempat memikirkan topik yang lebih baik. Aku tak rela ia pergi begitu saja.

Ia hanya membalas dengan gelengan kepala sambil tertunduk malu. "Gimana, pindah kelas?"

Ganti aku yang menggeleng. "Engga." Andai aku pindah kelas dan sekelas denganmu, mungkinkah rasa yang dulu kembali bersemi?

Pada akhirnya, kesempatan yang kunanti berlalu begitu saja. Keberanian yang kukumpulkan tak cukup membuatnya berdiri di sana lebih lama. Andaikan bisa, aku cuma ingin bertanya alasannya pergi. Aku bukannya melarang pergi, tapi aku tak suka caranya pergi tanpa sepatah kata. Tanpa berpamitan di tengah cerita kita yang seharusnya belum usai. 

Sabtu, 7 Januari 2017. Sekitar 16.00. Aku, gerimis dan genangan penuh kenangan.
p.s Untuk kamu yang merasa, jangan bawa perasaan atas rasa yang telah lama kau hilangkan :)

You Might Also Like

1 komentar

  1. Katakan namaku tiga kali, aku akan beri sepercik perhatianku padamu 😘

    BalasHapus