Di Luar Hujan

10:06 PM


Di luar gelap. Langitnya mendung. Angin sedang kencang-kencangnya. Sebentar lagi hujan. Ada yang merindukan kehangatan yang seharusnya menyentuh tangannya di kala seperti ini. Jari-jarinya mulai membeku. Seluruh badannya menggigil. Namun dia tetap di situ. Kakinya di takdirkan lumpuh sejenak melarangnya beranjak. Membiarkannya tertimbun dalam rentetan peristiwa yang telah lalu.

"Sebentar lagi hujan."

Tak ada suara yang berarti selain ranting pepohonan yang saling beradu karena diterpa angin. Cicitan induk burung yang menyuruh anak-anaknya cepat mengungsi. Tak ada lagi siswa yang berani berkeliaran di halaman belakang sekolah. Hanya dia, dan bisikan laki-laki yang berjarak 5 meter di belakangnya.

"Mungkin badai."

Dia tetap membisu. Matanya menerawang jauh ke arah deretan awan yang abu. Namun tatapannya kosong. Hatinya mati rasa, karena nyaris hipotermia. Telinganya disumpal oleh kenangan romansa pahit. Dia enggan jatuh lagi, dia enggan mengulangi.

"Teman-teman sedang membuat teh hangat di kelas."

Dia tidak butuh seseruput teh hangat, apalagi secangkir cokelat panas. Terlalu merepotkan. Ia hanya perlu mengingat surat terakhir yang diterimanya. Sudah cukup membuat ujung kaki sampai ubun-ubunnya merasa panas.

"CEPAT KEMARI! Dengarkan aku, atau kamu akan basah kuyup!"

Tanpa aba-aba, hujan deras mengguyur semesta. Belum sempat bilang permisi, butirannya menusuki kepala bertubi-tubi. Tak berniat ramah tamah, mereka menghantam apa pun yang menghalangi jalan menuju tanah. Tiap-tiapnya menyiprati sekujur tubuh tanpa diskriminasi.

Begitupun dia. Memejamkan mata dan menunduk ke bawah. Kerudung cokelat susunya gagal melindunginya dari hujan. Namun tak akan ada yang menyangka, jikalau bedaknya luntur membentuk dua garis vertikal di bawah sepasang kelopak matanya. Harusnya hanya dia, yang kini berhidung semerah tomat yang mengetahui.

Cipakan genangan air tiba-tiba berusaha memerdekakan diri dari hujan yang mendominasi. Lelaki yang sedari tadi masih berlindung di bawah atap seng, memantapkan hati untuk melangkah. Tak tega melihat gadisnya terisak. Tepat lima langkah sebelum dapat menggapai gadisnya, ia basah kuyup kecuali jaket berbahan parasut yang didekapnya.

Ia berhenti, meski tinggal selangkah lagi. Terdengar jelas raungan gadisnya yang tak bersuara. Tangisan dalam bisunya merasuk ke dalam gendang telinga dan berhasil diproses sampai ke otak. Jeritannya menggema di langit kelabu. Ia hanya ingin memeluk gadisnya dari belakang, tapi ia tak bisa. Tubuh gadisnya hanya berupa bayangan. Ada, namun tak tergapai.

Sementara si gadis tetap tak beranjak. Ia tahu lelakinya ingin memeluknya. Namun ia paham, mereka sama-sama tak bisa. Karena ketika mencinta, mereka kehilangan dirinya masing-masing. Jiwa mereka dibutakan, hati mereka dipatahkan. Dan mereka tak bisa kembali bergandengan tangan di bawah derasnya hujan seperti dulu. Karena mereka, masing-masing individu yang tak ingin saling menyakiti, lagi.

You Might Also Like

0 komentar