Menanggapi Senyumanmu (Lagi)

12:00 AM

[Tulisan ini mengandung banyak hiperbola]


Apa aku sudah pernah bilang, kalau senyumanmu itu manis?

Awal kita bertemu di siang hari, kamu tanpa kata. Tak peduli celotehanku yang panjang lebar, kamu tetap diam. Kau balas aku hanya dengan tatapan teduh dan senyum indahmu. Dan aku terpesona.

Awal kita bertemu di malam hari, aku baru tahu kalau kamu berprofesi menjadi wartawan. Berita apa yang akan kau sajikan, Tuan, sampai kamu terus menanyaiku pertanyaan penting-tak penting via layanan operator? Tapi, aku tetap membalas satu persatu. Perasaanku mulai menggebu.

Hari kedua setelah kita bertemu di siang hari, kali ini aku yang menanyaimu ini-itu dengan antusias. Kamu jarang menjawab, lebih banyak diam sambil tersenyum. Aku mulai memperhatikan senyummu. Kamu kerap memamerkan gigimu yang agak gingsul itu kala tersenyum. Senyumanmu itu manis, namun dalam. Keindahannya tak dapat kudefinisikan. Aku semakin tenggelam.

Hari kedua setelah kita bertemu di malam hari, aku mulai sadar kalau kamu benar-benar menarik perhatianku. Kamu sama seperti kemarin, mulai mengirimiku pesan singkat. Aku membalas semuanya dengan semangat, bahkan balik bertanya beberapa kali. Lama kelamaan, kamu bilang suka. Tanpa ragu, kubalas kalau aku juga  merasakan hal yang sama. Tapi kamu bilang, kamu belum siap jika berhubungan lebih dari teman dan aku bisa mengerti. Aku tidur dengan perasaan bak bunga yang mekar.

Hari ketiga setelah kita bertemu di siang hari, aku tak melihat dirimu. Setiap sisi dan sudut sekolah kutapaki demi mencari jejakmu. Namun hasilnya nihil. Aku pikir, kamu demam sampai tidak bisa masuk sekolah. Sempat ingin mengirim pesan untukmu, namun kuurungkan agar kamu dapat istirahat yang cukup. Aku mulai dipenuhi tanda tanya.

Hari ketiga setelah kita bertemu di malam hari, aku mendapat notifikasi kalau kamu mengunggah sesuatu di media sosial. Sebuah foto gadis cantik berkerudung merah. Simbol tanda cinta berwarna merah kamu sematkan sebagai keterangan. Aku ingin membubuhkan komentar, siapa gadis itu? Dan lagi-lagi kuurungkan, mungkin bukan kamu yang mengunggahnya, namun ada temanmu yang ingin menjahili. Aku berusaha baik-baik saja.

Hari keempat setelah kita bertemu di waktu istirahat, aku menemuimu tepat di depan kelasmu. Namun, temanmu bilang kamu tidak berada di kelas. Aku memutuskan untuk menunggu di sana, karena kamu pasti akan kembali. Dan saat aku melihatmu dari kejauhan dan bersiap untuk segera menahanmu, kamu justru seakan tak melihatku dan lewat tanpa permisi. Wajahmu datar, senyummu hilang. Aku mulai gundah.

Hari keempat setelah kita bertemu di malam hari, aku tak lagi menerima pesan darimu. Aku mencoba mengirim pesan lebih dahulu, dan kamu tak punya itikad untuk berhubungan timbal balik. Berjam-jam aku menunggumu. Berhari-hari kemudian, aku melihat kamu meresmikan statusmu dengan gadis yang berkerudung merah kemarin di media sosial. Senyummu hilang. Berkali-kali bertatap dan kamu hanya membuang muka. Saat terpaksa, kamu hanya melempar senyum dengan keterpaksaan. Dan akhirnya, kamu resmi membuatku patah.

Hari ini, hampir genap setahun setelah hari pertama kita bertemu. Aku sudah belajar untuk melupakanmu. Hadirmu yang dingin membantuku untuk mengikhlaskan. Kala kita bersemuka lagi, aku sudah bisa memberikan senyum ramah meski kamu membalas sebaliknya. Namun hari ini, kamu membalasnya dengan senyum ramah. Setelah setahun berjuang melupakan, aku malah terbuai, lagi.

Hari ini, hampir genap setahun setelah hari pertama kita bertemu. Aku mulai berharap kalau pesanmu kembali datang. Aku melupakan semua kisah pilu yang kau bawakan padaku, dulu. Aku kerap berbisik pada diriku sendiri, tak apa jika dia bisa berubah. Setiap orang berhak untuk kesempatan kedua.

Hari ini, hampir genap setahun setelah hari pertama kita bertemu. Aku kembali membaca pesan-pesan kita dahulu, karena aku rindu. Ternyata, kamu manis sekali, dulu. Aku membayangkan kalau kata-kata manismu akan datang padaku detik ini juga.

Hari ini, hampir genap setahun setelah hari pertama kita bertemu. Aku membaca dari awal sampai akhir. Aku menyadari kalau kamu begitu manis. Dan aku juga menyadari kalau kamu akhirnya begitu bengis. Senyummu yang sempat menghipnotisku, tak bisa mengelakkanku dari realita bahwa kamu datang dan pergi seenaknya. Aku sadar, kamu jahat. Kamu tak berhak mendapatkan kesempatan kedua. Kala senyumanmu membuatku rindu, aku harus mengingat bagaimana kamu membuatku sendu. Karena aku yang dulu, tak akan menerima begitu saja jika aku memaafkanmu.

Namun, harus kuakui. Baik dulu maupun sekarang, senyummu tetaplah indah. Meskipun terbesit rasa benci, tapi aku tak masalah jika kamu melemparkanku senyum, lagi. Karena bagaimanapun, senyummu itu begitu dalam. Senyumanmu tak tertebak maknanya, sampai pernah aku salah mengartikan kalau kamu jatuh cinta. Biarlah aku terus menebak-nebak apa filosofi senyumanmu, meski kamu tahu aku tak akan membiarkanmu melangkah lebih jauh.

Aku, 19 Juli 2017, 23.19, tengah melankolis.

(ditemukan kembali dan berusaha diunggah tepat waktu pada perbatasan 10 dan 11 Juni 2018 dini hari, tanpa disunting.)

You Might Also Like

1 komentar