Di Balik Balikan dengan Si Insial B

12:24 AM


Maukah lagi kau mengulang ragu dan sendu yang lama?

Dari video klipnya Adu Rayu, kamu team Chicco Jericho atau Nicholas Saputra nih? Dilematik sih ya, aku seneng karena berakhir bahagia tapi ikutan sedih karena idola tahun 90-an yang masih ganteng sampai sekarang ini ditolak, huhu.

Kalau kamu sendiri, percaya nggak sama kata “balikan”? Dari quotes jaman batu, semuanya bilang kalau balikan sama mantan berarti membuka ulang lagi sebuah buku—isinya sama aja. Tapi di sisi lain, aku nemu banyak cerita influencer yang justru happily ever after setelah balikan sama mantannya. Jadi bisa disimpulkan kalau semuanya itu tergantung: apakah dia layak diberi kesempatan kedua? Dan seharusnya, kita pasti udah cukup dewasa buat menimbang cost dan rewardnya.

Akhir-akhir ini aku lagi suka lihat instastory Kak @astaririri, beauty influencer, yang baru aja balikan sama mantannya. Temenan 3 tahun, pacaran 5 tahun, putus 3 tahun, dan sekarang balikan. Yups, perjalanannya panjang banget sampai sekarang udah jadi dokter gigi—Kak Riri ini juga sering banget bahas soal kesehatan gigi! Pengalaman ini bikin aku percaya kalau aku masih bisa balikan sama sesuatu meskipun udah pisah lama banget.

Lah, sesuatu?

Iya, buku!

(gimana, clickbaitnya nyebelin nggak?)

Dari kecil, aku adalah anak yang sangat erat dengan buku. Dari kecil udah dijejelin banyaaak banget buku dongeng tipis-tipis, aku inget banget salah satunya ada yang nyeritain belalang! Jauh sebelum itu, aku udah megang buku sebelum bisa baca, dan dengan percaya dirinya bikin cerita sendiri dari gambar yang sudah aku lihat. Pokoknya, dari kecil Ifa udah erat banget sama literasi—terkhusus baca dan tulis! Terlebih karena orangtuaku benar-benar memberiku fasilitas untuk membaca, mulai dari buku tipis sampai ensiklopedia yang tebal. Yangkungku juga langganan majalah Bobo dan Mombi untuk dibaca tiga cucunya setiap menginap di malam minggu. Wow, masa kecilku sangat terpelajar!

Aku mulai rajin baca novel di kelas 2 SD—dimulai dari beli KKPK The Magic Book, karya Kak Aini. Dulu belinya di luar kota pas bazaar, dengan dalih kepengen baca buku yang tebel tapi ceritanya anak-anak (karena lihat orangtua baca buku juga). Tapi habis itu ketagihan banget, akhirnya tahu kalau KKPK bisa dibeli di Togamas Kediri (belum ada Gramedia) dan sejak saat itu langsung rajin beli! Harganya saat itu masih di bawah 20.000, seingatku. Tiap bulan pasti beli buku, padahal pas itu KKPK belum ngetren di kalangan teman-temanku. Ngerasa paling keren nggak sih, sesekolah? Sejak kenal KKPK juga, jiwa menulisku yang udah ada bibitnya ini tambah terpanggil. Mulai dari nulis cerpen dan puisi, sampai kenalan sama teman-teman dari komunitas menulis di Facebook.

Masalah mulai muncul di saat Ifa mulai kerajinan main game online di kelas 5 SD. Sejak saat itu frekuensi membaca mulai turun, apalagi pas itu KKPK lagi hits-hitsnya di sekolah. Biasanya kalau udah jadi sesuatu yang mainstream, minatku rada turun HEHE. Dan kerennya, di game ini aku ketemu temen yang bisa diajak ngobrol soal literasi juga, Afifah Safiqah! Lucu banget dulu kita nge-twins pakai nama Ipeh-Pipah, dan sekarang dia jauh lebih sukses dari aku di bidang nulis huft aku kalah telak! Pas itu udah hampir nggak pernah baca buku, tapi aku tetap suka menulis. Akhirnya karyaku ada yang diterbitkan, pas itu di antologi PCPK My Lovely Pet hihi.

Kalau kita udah males terhadap sesuatu, pasti susah banget kan balikinnya?

Iya! Semuanya tambah parah pas SMP-SMA aksel, jadwalnya penuh banget! Apalagi udah tahu cara nonton film bajakan yang nggak ada habisnya, udah deh. Aku masih beli buku sih, sesekali. Tapi jarang banget—dan bacanya juga nggak niat. Pas SMP lebih suka beli majalah GIRLS, dan ini mungkin satu-satunya prestasiku pas SMA: membaca 8 seri Supernova. Bacanya rada nggak ngeuh, pokoknya baca aja biar keren. Selain itu, niatku baca cuma sekadar bisa menambah kosa kata karena aku masih sangat suka menulis. Tapi udah nggak suka baca. Ada ya penulis yang nggak suka baca?

Di awal kuliah, aku dateng ke Big Bad Wolf yang akhirnya bisa aku samperin karena selama ini hanya bisa lihat kehebohannya di internet! Karena nggak bisa baca buku asing, akhirnya aku beli buku bahasa Indonesia. Seratus ribu dapat empat atau lima buku, saat itu. Hebatnya, sampai sekarang yang kubaca baru satu buku. Sisanya bahkan masih disegel. Wah parah.
Lama-lama, aku sampai di tahap yang ngerasa bodoh banget. Bener-bener kayak otakku nggak ada isinya—karena memang sih kayaknya, toh buku kuliah juga cuma jadi pajangan. Seperti orang super gabut pada umumnya, aku mulai mencari-cari apa yang salah melalui internet. Mulai ngefollow orang-orang keren (selain beauty influencer) di second account Instagram. Langsung termotivasi? Nggak juga.
Sampai akhirnya aku sering banget lihat instastory Kak @puspitamayangsari (dokter gigi juga, beauty influencer yang kukenal karena diet buat detox jerawat) yang mengulas buku non fiksi yang dia baca. Lama kelamaan aku jadi sadar, orang pinter tuh semuanya berawal dari membaca. Aku jadi inget, dulu pernah baca artikel di blog Zenius tentang membaca yang jauh lebih oke dari pada lihat video pengetahuan (yang bahkan nggak aku lakuin juga LOL). Pas aku tiba-tiba terinspirasi sama Kak Maudy Ayunda dan ngestalk Instagramnya, aku juga nemu banyak foto buku di sana. Atau nggak usah jauh-jauh, temanku di Commers’18 juga banyak yang aku ketahui pintar karena membaca. Diva yang pas ospek menjadi satu-satunya orang keren yang bisa menjawab pertanyaan dari pemateri, yang jawabannya hanya bisa kamu tahu kalau kamu baca buku. Arya yang pas latihan debat pemikirannya bisa kritis banget, dan dia cerita kalau suka baca buku meskipun nggak kuliah selama 2 tahun. Atau sahabatku sendiri, Sae si jenius dan multitalenta yang akhirnya membuatku bertanya: berapa banyak buku yang dia baca? (Soalnya dia nggak sombong kayak aku sih, baru baca 1-2 buku langsung review dan dipamerin hehe)
Sebenarnya selama ini aku tetap dekat dengan buku, entah itu beli tapi nggak dibaca atau tetap mengikuti tren buku yang ada melalui bookstagrammer. Tapi aku nggak benar-benar membaca, makanya aku nggak pintar. Saat itu akhirnya aku sadar, aku harus membaca. Kesadaran ini juga tumbuh bersamaan dengan mimpi-mimpi baru, dan aku yakin semuanya harus diawali dengan membaca. Iya, aku harus mulai baca!
Kerennya, keinginanku ini juga mempertemukanku dengan Gramedia Digital (bukan endorse, kalian nggak bakal nyesel kalau baca sampai akhir kok hihi). Waduh, kebayang nggak kalau aku ingin memulai baca buku dimana lagi nggak punya duit, mau pinjam harus gantian sama teman yang lain. Sejak aku menemukan Gramedia Digital ini, waktu kuhabiskan dengan survey berbagai hal, mulai dari review sampai apa aja sih buku yang bisa dibaca. Pokoknya aku nggak mau uangku sia-sia. Kamu hanya perlu bayar 89.000 untuk akses baca semua buku selama sebulan, bisa bayar pakai gopay. Setelah berbagai pertimbangan, aku putuskan akan beli kalau aku masih dapat salam tempel pas lebaran. Dan... dapat, tapi kuundur lagi untuk beli setelah UAS. Akhirnya setelah UAS, aku beli deh! Dan kebetulan banget dapat cashback, jadi total bayarnya sekitar 70.000. Sebenarnya bisa banget patungan sampai lima orang, tapi ketika mengajak orang-orang terdekatku kebanyakan masih skeptis sama Gramedia Digital ini. Yaudah, lagian aku beli pakai angpao dan dapet cashback lagi, hihi jadi nggak ngerasa rugi.
Sejak saat itu aku mulai ngefollow banyak bookstagram buat cari referensi buku. Aku langsung download banyak buku di Gramedia Digital, kebanyakan buku non fiksi haha, karena katanya orang pinter tuh kebanyakan baca buku sains/sospol atau pengembangan diri. Buku yang pertama aku baca itu Zero Waste Adventure, pas banget aku masih penasaran sama konsep zero waste dan pengen lihat bagaimana jika disajikan dalam sebuah buku. Ringan-ringan dulu gitu niatnya. Dan... yaudah oke oke aja dan cukup banyak pengalaman yang baru kuketahui. Setelah itu, aku mencoba melihat-lihat buku non fiksi lain yang sudah aku unduh, kubaca beberapa halaman awalnya tapi sayang sekali nggak menarik. Akhirnya, aku nemu novel fantasinya Kak Prisca Primasari yang Purple Eyes—dari dulu pengen banget baca, tapi pas mau beli malah nggak nemu di toko buku huhu.
Karena keasikan baca dan suka banget sama bukunya, akhirnya aku pun mengubah niat: aku akan baca satu buku yang keluar dari zona nyaman, kemudian baca buku yang aku suka. Gitu. Cost and reward lagi.
Setelah Purple Eyes selesai, aku membaca Laut Bercerita. Speechless banget, janji deh bakal bikin review lengkapnya soal buku ini. Meskipun awalnya kukategorikan sebagai ‘buku-yang-bukan-zona-nyaman’ku, buku ini dikemas dalam fiksi. Aku yang awalnya melakukan bookshaming pun jadi tersadar, semua buku bagus! Aku nggak harus memaksakan diri untuk membaca buku non fiksi yang katanya bikin orang pinter, toh dari sastra-fiksi aku juga bisa menemukan banyak hal. Yang paling penting, aku harus membaca dengan kualitas. Membaca nggak hanya untuk memanjakan mata dengan diksi yang aku suka, tapi harus berusaha mencari tahu maksud di baliknya. Dari sifat tokoh pun kita bisa belajar berbagai sifat manusia dan problem solving, bahkan di Laut Bercerita ini aku juga bisa membaca sejarah yang selama ini kusepelekan. Wow, buku ternyata keren banget kan?
Akhirnya, aku pun mulai membaca buku yang aku suka, yang penting dimulai dulu! Lucu kan, kalau aku udah lupa rasanya ‘terbiasa’ sama membaca, tapi sekalinya membaca langsung disuguhi buku-buku yang nggak aku suka? Rasanya pasti bakal terpaksa banget, makanya saat ini yang sedang aku fokuskan adalah meningkatkan rasa suka terhadap membaca lagi. Tapi aku tetap sangat berharap suatu saat nanti bakal tergerak untuk membaca buku non-fiksi juga, sih, kalau udah menemukan minat dan metode yang tepat. Eit, baca fiksi aja masih milih-milih banget sebenarnya haha.
Sampai saat ini (belum genap sebulan sejak langganan), aku sudah menuntaskan: Zero Waste Adventure, Purple Eyes, Laut Bercerita, dan Di Tanah Lada. Sekarang juga sedang membaca Jakarta Sampai Pagi. Aku merasa sangat cocok dengan Gramedia Digital, toh aku anaknya memang selalu main HP 24/7 dan nggak ada keluhan selama baca di layar. Justru dengan membaca di HP, aku berusaha meminimalisir membuka sesuatu yang sifatnya hiburan banget seperti webtoon atau Instagram. Apalagi karena udah bayar, pasti nggak mau rugi yakaan. Pengalaman membacaku yang paling asik menurutku saat di kereta, 3 jam lebih yang biasanya hanya dipakai chattingan akhirnya bermanfaat! Yes, dengan adanya Gramedia Digital ini aku merasa terbantu banget untuk mengurangi kecanduanku atas media sosial. Selain itu, aku bisa bebas pilih buku. Nggak kayak  beli buku di toko buku yang kalau udah beli dan ternyata nggak cocok, yah sayang duitnya. Kalau di Gramedia Digital, tinggal hapus aja dari library dan langsung download buku yang lain lagi.
OH IYA, KALAU DARI SEGI HARGA PASTI UNTUNG BANGET YA!
Coba deh hitung, dari empat buku yang sudah aku tuntaskan tadi, harusnya aku habis berapa? Ratusan ribu banget, dan aku tinggal bayar 89.000 sebulan untuk akses unlimited! Dan yang pasti, bukunya legal karena ini dari Gramedia huehe, bukan e-book abal-abal (meskipun aku kurang tahu bagaimana sistem royaltinya buat penulis). Oh iya, bukunya macem-macem banget dan nggak cuma dari penerbit Gramedia, kok. Kalau kamu penasaran buku apa aja yang tersedia, kamu bisa download aplikasinya dan lihat-lihat dulu. Tapi serius, banyak banget dan update terus sama buku baru! Ya memang nggak semua buku ada sih, tapi menurutku more than enough banget karena semua buku populer yang aku cari itu ada, mulai dari sastra sampai teenlit.
Jadi, aku seneng banget karena akhirnya memutuskan buat beli langganan Gramedia Digital ini. Doain semoga ‘balikan’ku sama buku lancar dan kita nggak perlu putus lagi ya, hihi. Oh iya, aku juga punya rencana buat bikin review buku-buku yang sudah aku baca, semoga segera tidak malas untuk menuliskannya ya:)
(Psst, kalau kamu jadi penasaran juga sama Gramedia Digital, DM aku dulu yuuk siapa tau kita bisa patungan juga hihi.)

You Might Also Like

0 komentar