Penistaan Terhadap Orang Bahagia yang Terlalu Hiperbola
9:41 PM
Iring jihit idilih iring biik ying tirsikiti.
Masih ingat sama kata-kata yang viral banget sejagad sosial
media beberapa minggu lalu? Yep, thanks to film Joker yang membuat kesadaran
masyarakat tentang kesehatan mental jadi semakin tinggi. Banyak orang-orang
yang mulai speak up dan menceritakan pengalamannya. Tapi di sisi lain,
menurutku tulisan di sosial media lama-lama mengarah ke penistaan buat orang
yang tidak berpura-pura bahagia. Melalui tulisan ini, aku ingin menekankan satu
hal: nggak semua orang yang bahagia itu berpura-pura!
Aku sering menemukan tulisan semacam ‘orang bahagia tuh
nyimpen banyak kesedihan’. Well, it’s ‘you’ not ‘orang bahagia’!
Berhenti deh nyalah-nyalahin orang yang dengan tulus ikhlas berbagi keceriaan
cuma karena kamu memilih untuk tidak menunjukkan semua emosimu.
Aku percaya kalau kita semua punya kadar emosi yang sama. Kita
sama-sama ngerasa bahagia, sedih, dan marah. Yang berbeda dari kita itu cuma kemampuan
dan kemauan kita untuk mengeluarkan emosi itu. Dengan menggarisbawahi bahwa nggak
semua orang bahagia itu fake, bukan berarti bilang mereka nggak pernah
sedih. Aku pernah dengan bodohnya bertanya ke salah satu temanku, “kamu pernah
sedih nggak?” Dia jawab, “pernah dong, kan aku manusia.” Once I thought he’s
a perfect human, but he’s still ‘human’ after all. Obrolan ini mengubah
perspektifku, ternyata kita semua sedih. Kita semua marah. Lain sisi, kita semua
juga bahagia. Cuma mungkin tidak semua dari kita mampu melihat, atau dia
sengaja tidak menunjukkan porsi sedihnya di depan orang lain.
Dengan bersikap selalu ceria dan bahagia, banyak orang suka bilang
ke aku “aku yakin Raisya nggak pernah sedih.” Halo, kamu berkata demikian ke
orang yang pernah menangis tiap malam selama lebih dari satu bulan karena putus
dengan pacarnya, tidak percaya diri dengan fisiknya, dan ngerasa nggak punya
teman. I cried a lot, like really a loooooooot. Tapi itu nggak membuat
bahagia yang selama ini aku tunjukkan ke kalian itu bohong. Sebagai anak ekstrover, aku memang dapat banyak energi ketika bertemu orang lain. Jadi maklumin aja deh kalau malam hari dan sendirian di kos merupakan indikatorku buat mulai nangis, sambat, insekyur, anxiety dan seluruh kawannya. Beda waktu, aku benar-benar
merasa bahagia saat bertemu orang lain, dan hal itu aku tunjukkan secara
langsung kan ke kalian? Please, jangan kira aku bercanda kalau aku
bilang aku kangen kalian, hehe. Aku memang punya perasaan yang se-hiperbola
itu: rindu berat meski hanya nggak ketemu sehari, atau sayang sama kamu
meskipun aku bukan pacarmu. Jiakh. (Btw, sayang yang aku maksud tuh bukan
selalu dalam konteks romantis yah! Tapi aku sering menemukan seseorang terlalu
berharga buatku sampai se-sayang itu???? Ngerti??????)
Nggak cuma bahagia saat bertemu orang lain, motivasiku bahagia
yang lain yaitu untuk menyebarkan kebahagiaanku ke semua orang! Sedih lho,
ngelihat kamu sedih! Well, ‘semua orang’ yang aku maksud di sini juga termasuk
aku sendiri! Menjadi bahagia buatku sebagai ‘sugesti’ bahwa aku benar-benar
bahagia. Apa karena itu, masalahku jadi hilang? Tentu saja enggak, tapi
setidaknya aku mulai bisa berpikir jernih untuk menghadapi masalah itu. Atau seringnya
sih, cuekin aja. Haha.
Oke, kita semua sedih. Jadi menunjukkan kesedihan bukan hal
yang harus diheboh-hebohkan menurutku, kecuali kalau kamu memang mau cari
perhatian. Salah? Enggak! Kamu berhak mencari perhatian dari orang-orang yang
kamu harapkan tanpa perlu merasa bersalah. WES TA, LAKUIN SEMUA YANG BIKIN KAMU
SENENG! Nggak ada yang berhak membuatmu cemas, kecuali kalau dilarang Tuhan,
oke? Eh sori, agak ngelantur yah? Pokoknya, it’s totally okay to be sad
cuma aku berharap jangan pakai kata-kata yang menistakan orang bahagia lagi,
oke? Kamu yang pura-pura bahagia, kok jadi nyalahin orang yang bahagia? :p
0 komentar